Ketika sedang sakit, wanita berharap dapat diperhatikan dan dimengerti oleh pasangannya. Tapi pria malah mengira si wanita terlalu melebih-lebihkan perasaan sakitnya. Kenapa saat wanita sakit dan meminta perhatian lebih, pria malah semakin menjauh?
Athena Champneys (37 tahun) adalah contoh dari kondisi tersebut. Ia didiagnosa menderita fibromyalgia,-- kondisi kronis yang ditandai dengan gejala sakit yang menyebar ke seluruh tubuh. Namun sang suami, Adam, selalu merasa tidak percaya 100 persen pada penyakitnya itu.
"Pernah suatu ketika saya merasa sangat kesakitan hingga tidak bisa memakai kaos kaki sendiri, namun Adam justru mengira saya berpura-pura lemah dan hanya bercanda. Ia menyuruh saya bangun dan menyelesaikan sendiri memasang kaos kaki," tutur Champneys seperti dikutip dari CNN, Rabu (30/12/2009).
Sebanyak 5 juta orang Amerika menderita fibromyalgia, dan 80 hingga 90 persennya adalah wanita. Namun anehnya, banyak dokter maupun pasangan yang mengatakan bahwa rasa sakit itu hanya ada di 'kepala' sehingga banyak yang mengabaikan orang dengan sakit fibromyalgia dan memicu retaknya sebuah hubungan.
"Saya mulai meragukan apakah sakitnya benar-benar asli atau tidak. Bahkan saya mulai ragu dengan hubungan kami karena saya harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga ditambah mengurus istri saya yang seperti nenek-nenek berumur 80 tahun padahal ia baru 30 tahun," kata Adam.
Kondisi yang dialami Champneys dan Adam adalah satu contoh yang banyak terjadi diantara pasangan. Di satu sisi, sang istri hanya meminta simpati dari suaminya sementara di sisi lain sang suami justru bersifat skeptis terhadap penyakit pasangannya.
"Seseorang dengan penyakit kronis sangat membutuhkan dukungan dari orang yang dicintainya. Tapi ketika orang yang diharapkannya itu tidak memperlakukan dirinya sesuai keinginannya, sakitnya bisa bertambah parah karena merasa tidak didukung," ujar Annmarie Cano, psikolog dari Wayne State University,Detroit, Michigan.
Menurut Cano, bagaimana seseorang mengungkapkan rasa sakitnya pada pasangan sangat berpengaruh pada penerimaan pasangan terhadap rasa sakit itu. Cano telah melakukan studi terhadap 106 pasangan dimana setiap pasangannya menderita kondisi kronis seperti sakit punggung, rematik, dan lainnya.
Cano menemukan bahwa seseorang yang tidak didukung pasangannya pada saat sakit hanya akan menambah persepsi buruk tentang penyakitnya. Gejala itu disebut dengan Catastrophizing yang bisa memicu stres, depresi, keengganan untuk meminta bantuan orang lain dan juga merusak sebuah hubungan.
"Jika seseorang mengharapkan dukungan tapi tidak tahu cara mengomunikasikan pada pasangannya, secara tidak langsung ia akan frustasi, lebih banyak mengeluh, marah-marah dan kecewa. Sementara itu, si orang yang diharapkan tersebut tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan pasangannya dan hal ini bisa memicu konflik. Terlalu banyak mengharapkan bantuan akan membuat segalanya bertambah buruk jika tidak bisa menyampaikannya dengan benar," ujar Cano.
Untuk mengatasi kondisi yang saling tidak cocok itu, Cano menyarankan agar setiap pasangan memeriksakan suatu penyakit berbarengan, meminta opini pakar dan tahu cara komunikasi yang benar. Ketimbang terus-terusan mengeluh dan mengerang kesakitan, sebaiknya katakan saja 'Saya hanya ingin bicara denganmu sayang'.
"Pasangan terutama wanita sebenarnya hanya ingin mendapat dukungan emosi. Mereka tidak meminta suaminya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mereka hanya ingin rasa sakitnya diterima dan dimengerti oleh pasangannya sehingga bisa mengurangi rasa stres," kata Dr Mildred Farmer dari Meridien Research, St Petersburg, Florida.
http://dede-health.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment