Transfusi darah sangat penting dalam banyak pengobatan di rumah sakit, terutama saat proses operasi. Tapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa menjalani transfusi darah selama operasi dapat meningkatkan kematian, terutama karena serangan jantung.
Setiap hari, ada ribuan liter darah yang disumbangkan sebagai pertempuran ahli bedah untuk menyelamatkan kehidupan. Juga banyak orang yang menerima darah dari orang asing untuk mengatasi masalahnya di atas meja operasi.
Sejak Perang Dunia Kedua, ketika transfusi darah pertama kali dilakukan, dunia kedokteran menganggap transfusi darah menjadi sangat penting bagi pasien untuk menjalani berbagai macam operasi.
Tapi penelitian terbaru menemukan bahwa pasien yang menjalani transfusi darah selama proses operasi, dapat mengalami risiko kematian yang lebih tinggi. Terutama akibat dari serangan jantung, stroke dan penyakit serius seperti septicaemia, pneumonia dan kanker kelenjar getah bening.
Peneliti sedang menyelidiki dua kemungkinan yang menjadi penyebab. Pertama adalah darah yang didonorkan. Peneliti curiga, bukannya memperkuat kapasitas orang sakit untuk menangkis infeksi, darah yang didonorkan saat operasi justru dapat membuat pasien tidak mampu menahan serangan bakteri dan virus.
Kedua, transfusi darah dapat memicu peradangan di pembuluh darah, sehingga meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke setelah operasi.
Hal ini disebabkan karena selama jangka waktu 30 hari, darah yang disimpan akan mengalami perubahan penting yang dapat menyebabkan kontaminasi ke beberapa penerima.
Diperkirakan bahwa ketika darah disimpan, enzim beracun yang dikeluarkan oleh sel darah merah dan penumpukan produk-produk limbah tubuh dalam darah dapat menyerang sistem kekebalan tubuh.
Transfusi adalah terapi hidup hemat yang telah membuat pengobatan bedah kompleks menjadi mungkin dilakukan. Tetapi juga memiliki efek yang tidak diinginkan pada sistem kekebalan.
Asal tahu saja, darah terdiri dari empat elemen utama, yaitu sel darah merah, sel darah putih, platelet dan plasma. Sebagian besar transfusi melibatkan sel darah merah yang telah dipisahkan dari komponen lain dalam darah, karena sel darah merah ini bertanggung jawab untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh.
Nah, ketika pasien kehilangan darah selama operasi, pasien tidak memiliki cukup sel darah merah untuk menjaga tubuh dalam posisi pemulihan penuh. Tanpa sel darah merah, organ mulai gagal berfungsi dan dapat mematikan.
Peneliti di University of Kentucky menemukan pasien biasanya membutuhkan sekitar 3 liter untuk membantu operasi. Jika transfusi darah yang dilakukan hanya 1 kantung (sekitar satu gelas) dapat meningkatkan kematian dalam waktu 30 hari dengan kemungkinan sebesar 32 persen.
"Saya terkejut bahwa dari satu kantung darah dapat menyebabkan risiko yang begitu besar. Tapi saya percaya bahwa dokter bedah, dokter anestesi dan profesional medis lain kurang menghargai dampak negatif dari transfusi darah," ujar Dr Andrew Bernard, peneliti dari University of Kentucky's College of Medicine, seperti dilansir dari Dailymail, Selasa (3/8/2010).
Selama 50 tahun terakhir, penggunaan sel darah merah donor telah diperluas dari pendarahan karena kejadian tertentu hingga ke dalam ruang operasi rutin.
Sayangnya, selama ini belum pernah ada penelitian besar yang pernah meneliti efektivitas atau keamaan dari transfusi darah. Juga tidak ada panduan yang jelas pada saat dokter bedah harus mengatur darah yang disumbangkan.
http://dede-health.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment