Penyakit diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama pada anak dan bayi di Indonesia. Diperkirakan angka kesakitan berkisar diantara 150-430 perseribu penduduk setahunnya dan dengan angka kematian yang masih tinggi terutama pada anak umur 1-4 tahun, sehingga memerlukan penatalaksanaan yang tepat dan memadai1).
Penderita diare kronik merupakan tantangan karena susahnya menilai gejala, sangat bervariasinya tanda-tanda, luasnya diagnosis banding, dan beragamnya uji diagnostik yang tersedia. Evaluasinya memerlukan pengenalan tanda khas diarenya, penentuan diagnosis banding secara individual, pemakaian uji laboratorium yang tepat, dan pada beberapa kasus perlu manajemen empiris untuk mencapai diagnosis yang benar2).
Secara umum penatalaksanaan diare kronik ditujukan untuk mencegah dan mengobati, dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, malabsorpsi akibat kerusakan mukosa usus, penyebab diare yang spesifik, gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk memperoleh hasil yang baik pengobatan harus rational.
DEFINISI
Sangat sulit memberikan definisi yang tepat untuk diare kronis, karena pada anak terdapat beragam varisi dari pola buang air besar dan biasanya orang tua selalu memberikan informasi yang subjektif. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15g/kgBB/24jam sudah dikatakan diare, pada umur 3 tahun yang disebut diare adalah jika volume tinja lebih dari 200g/24 jam3). Karena ada perbedaan jumlah, konsistensi, dan volume tinja pada masing-masing tingkatan umur anak, maka para ahli menetapkan bahwa yang dikatakan diare kronis adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dengan konsistensi tinja lebih lembek atau cair dan berlangsung dalam waktu lebih dari 2 minggu2).
Sebagian ahli lain berpendapat bahwa diare kronis merupakan kategori luas kondisi diare dengan etiologi non infeksius yang berlangsung lebih dari 2 minggu, dan ada lagi yang disebut dengan diare persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu dengan penyebab infeksius4).
ETIOLOGI
1. Malabsorpsi
Pada tahun-tahun akhir, sindrom malabsorbsi telah lebih banyak diselidiki oleh para ahli di bidang gastroenterologi. Umumnya yang dimaksud dengan sindrom malabsorbsi ialah penyakit yang berhubungan dengan gangguan pencernaan (maldigesti) dan atau gangguan penyerapan (malabsorbsi) bahan makanan yang dimakan. Dengan demikian sindrom malabsorbsi dapat berupa gangguan absorbsi (a). Karbohidrat. (b). Lemak. (c). Protein. (d) Vitamin. Pada anak yang sering dijumpai adalah malabsorbsi karbohidrat, khususnya malabsorbsi laktosa (intoleransi laktosa) dan malabsorbsi lemak, walaupun demikian berbagai sindrom malabsorbsi dapat terjadi pada berbagai golongan umur1).
a. Malabsorbsi karbohidrat (intoleransi laktosa)
Laktosa merupakan karbohidrat utama dari susu (susu sapi mengandung 50mg laktosa perliter). Maka pada bayi dan balita diare akibat intoleransi laktosa mendapat perhatian khusus karena menjadi penyebab yang cukup sering.
Penyebab
Sebagian besar karbohidrat yang dimakan sehari-hari terdiri dari disakarida dan polisakarida. Karbohidrat dapat dibagi dalam monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa), disakarida (laktosa atau gula susu, sukrosa atau gula pasir dan maltosa) serta polisakarida (glikogen, amilum, tepung). Setelah masuk ke dalam usus, disakarida akan diabsorbsi dan masuk ke dalam mikrovili usus halus dan dipecah menjadi monosakarida oleh enzim disakaridase (laktase, sukrase, dan maltase) yang ada di permukaan mikrovili tersebut.
Defisiensi enzim disakaridase selektif menyebabkan gangguan hidrolisis karbohidrat pada membran enterosit meskipun tidak ada cedera mukosa2).
Pada intoleransi laktosa terjadi defisiensi enzim laktase dalam brush border usus halus, sehingga proses pemecahan laktosa menjadi glukosa terganggu dan akibatnya terjadi gangguan penyerapan makanan atau zat sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat dan akan mengakibatkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare1,5).
Pembagian
Intoleransi laktosa dibedakan menjadi 2, yaitu intoleransi primer yang merupakan kelainan kongenital dan intoleransi sekunder yaitu terjadinya defisiensi enzim laktase akibat kerusakan mukosa usus, mengingat disakarida ditahan di lapisan luar mukosa usus. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya defisiensi laktase adalah penggunaan obat-obatan neomycin dan kanamycin, celliac disease, malnutrisi, giardiasis, defisiensi imunoglobulin, dll1).
Gejala
Baik pada yang bawaan maupun pada yang didapat, penderita menunjukkan gejala klinis yang sama, yaitu diare yang sangat sering, cair, asam (ph dibawah 4,5), meteorismus, flatulens dan kolik abdomen. Akibat gejala tersebut, pertumbuhan anak akan terlambat bahkan tidak jarang terjadi malnutrisi dengan rasio tinggi dan berat badan kurang dari persentil ke-5.
Pemeriksaan laboratorium
1. Pengukuran pH tinja (pH < 6, normal pH tinja 7- 8)
2. Penentuan kadar gula dalam tinja dengan tablet "Clinitest". Normal tidak terdapat gula dalam tinja. (+ = 0,5%, + + = 0,75%, +++ = 1%, ++++ = 2%).
3. Lactose loading (tolerance) test
Setelah penderita dipuasakan selama semalam diberi minum laktosa 2 g/kgbb. Dilakukan pengukuran kadar gula darah sebelum diberikan laktosa dan setiap 1/2jam kemudian hingga 2 jam lamanya. Pemeriksaan ini dianggap positif (intoleransi laktosa) bila didapatkan grafik yang mendatar selama 2 jam atau kenaikan kadar gula darah kurang dari 25 mg% (Jones, 1968).
4. Barium meal lactose
Setelah penderita dipuasakan semalam, kemudian diberi minum larutan barium laktosa. Kemudian dilihat kecepatan pasase larutan tersebut. Hasil dianggap positif bila larutan barium laktosa terlalu cepat dikeluarkan (1 jam) dan berarti pula hanya sedikit yang diabsorbsi.
5. Biopsi mukosa usus halus dan ditentukan kadar enzim laktase dalam mukosa tersebut. Untuk diagnosis klinis biopsi usus penting sekali, karena banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan ini, misalnya gambaran vilus di bawah dissecting microscope. Gambaran histologis mukosa (mikroskop biasa dan elektron), aktifitas enzimatik (kualitatifdan kuantitatif). Biopsi usus ternyata tidak berbahaya dan sangat bermanfaat dalam menyelidiki berbagai keadaan klinis yang disertai malabsorbsi usus.
6. Sugar chromatography dari tinja dan urin.
Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinis dan laboratorium seperti di atas.
Pengobatan
Diberikan susu rendah laktosa (LLM, Almiron, eiwit melk) atau Free lactose milk formula (sobee, Al 110) selama 2-3 bulan kemudian diganti kembali ke susu formula yang biasa. (kadar laktosa Almiron 1,0%, eiwit melk 1,4%, LLM 0,8%, Sobee 0% dan Al 110 (0%)
Pada intoleransi laktosa sementara, sebaiknya diberikan susu rendah laktosa selama 1 bulan sedangkan pada penderita dengan intoleransi laktose primer (jarang di Indonesia) diberikan susu bebas laktosa5).
Respon klinis terhadap pemberian diet bebas laktosa merupakan suatu alternatif untuk pemeriksaan tinja atau uji diagnostik spesifik. Pembatasan laktosa seharusnya menghasilkan penyembuhan cepat diarenya dalam 2-3 hari, jika ada defisiensi laktase. Harus bisa membedakan intoleransi laktosa dengan keadaan sensitif terhadap protein, gastroenteritis akut tidak memicu sensitivitas susu. Cukup beralasan bila susu sapi diganti dengan susu formula susu kedelai jika dicurigai intoleransi laktosa karena formula susu kedelai mengandung tepung rantai pendek atau sukrosa sebagai sumber gulanya. Orang tua haru
s dibimbing agar tidak memberikan tambahan cairan bening atau larutan elektrolit encer berlebihan untuk menghindari hiponatremia atau pengurasan kalori pasca infeksi, yang bisa menyebabkan diarenya berkepanjangan. Diare yang menetap walaupun laktosa dalam diet sudah dikurangi memberi kesan diagnosis bukan defisiensi laktosa2).
Prognosis
Pada kelainan primer (kongenital) prognosis kurang baik, sedangkan pada kelainan yang didapat (sekunder) prognosis baik
b. Malabsorbsi lemak
Di alam, bentuk trigliserida asam lemak umumnya mengandung atom C lebih dari 14, seperti asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat. Bentuk ini disebut LCT (Long Chain Triglycerides). Disebut MCT (Medium Chain Tryglycerides) adalah trigliserida dengan atom C6 12 buah. Untuk pengobatan anak dengan malabsorbsi lemak, susu MCT telah banyak digunakan oleh berbagai klinik1).
Dalam keadaan sehat, absorbsi LCT dari usus halus bergantung kepada beberapa faktor. Hidrolisis dari LCT menjadi asam lemak dan gliserida terjadi di usus halus bagian atas dengan pengaruh lipase pankreas dan conjugated bile salts yang ikut membentuk micelles yaitu bentuk lemak yang siap untuk diabsorbsi. Sesudah masuk ke dalam usus kecil tcrjadi reesterifikasi dari asam lemak sehingga kemudian terbentuk kilomikron yang selanjutnya diangkut melalui pembuluh limfe.
Absorbsi MCT berbeda sekali dengan LCT, demikian pula metabolismenya. MCT dapat diabsorbsi dengan baik dan cepat walaupun tidak terdapat lipase pankreas dan conjugated bile salts, apalagi karena tidak melalui pembentukan micelles dan kilomikron. MCT akhirnya akan diangkut langsung melalui vena porta dan selanjutnya dalam hati akan dimetabolisme.
Penyebab
Gangguan absorbsi lemak (LCT) dapat terjadi pada keadaan :
1. Lipase tidak ada atau kurang.
2. Conjugated bile salts tidak ada atau kurang
3. Mukosa usus halus (vili) atrofi atau rusak.
4. Gangguan sistem limfe usus.
Keadan ini akan menyebabkan diare dengan tinja berlemak (steatorea) dan malabsorbsi lemak. Malabsorbsi lemak dapat terjadi pada kelainan sebagai berikut :
1. Penyakit pankreas; fibrosis kistik, insufisiensi lipase pankreas.
2. Penyakit hati; hepatitis neonatal, atresia biliaris, sirosis hepatis.
3. Penyakit usus halus; reseksi usus halus yang ekstensif (pada atresia, volvulus, infark mesenterium), penyakit seliak dan malabsorbsi usus (karena kelainan mukosa usus atau atrofi), enteritis regional, tropical sprue, contaminated small bowel syndrome, abetalipoproteinemia (karena gangguan pembentukan kilomikron), malabsorbsi yang sebabnya tidak diketahui. Mungkin sekali terjadi pada diare berulang dan kronis pada malnutrisi energi protein.
4. Kelainan limfe; limfangiektasis usus, gangguan limfe karena trauma, tuberkulosis, kelainan kongenital.
5. Neonatus kurang bulan
Diagnosis
Steatorea atau bertambahnya lemak dalam tinja merupakan suatu conditio sine qua non untuk diagnosis malabsorbsi lemak.
Prosedur yang paling sederhana ialah pemeriksaan tinja makroskopis dan mikroskopis. Tanda-tanda makroskopis tinja yang karakteristik tinja berlemak ialah lembek, tidak berbentuk (nonformed stool), berwarna coklat muda sampai kuning, kelihatan berminyak.
Perhitungan kuantitatif metode Van de Kamer atau tinja yang dikumpulkan 3 hari berturut-turut merupakan pemeriksaan yang paling baik.
Bila ekskresi dalam feses lebih dari 15gram selama 3 hari (5 g/hari) maka hal ini menunjukkan adanya malabsorbsi.
Pengobatan
Pengobatan lebih banyak ditujukan pada latar belakang penyebab terjadinya malabsorbsi lemak ini. Kemudian untuk malabsorbsi lemaknya sendiri diberikan susu MCT.
Preparat MCT di luar negeri banyak dibuat dari minyak kelapa.
1. Dalam bentuk bubuk: Portagen, atau Tryglyde (Mead Johnson). Trifood MCT milk,
2. Dalam bentuk minyak: Mead Johnson MCT oil, Trifood MCT oil.
3. Mentega MCT: margarine union.
2. Infeksi khusus
Patogen usus menyebabakan sakit dengan menginvasi mukosa usus halus, memproduksi enterotoksin, sitotoksin, dan menyebabkan perlengketan mukosa yang disertai kerusakan di membran mikrovili7). Organisme yang menginvasi sel epitel dan lamina propia menimbulkan reaksi radang lokal yang hebat. Pertumbuhan bakteri dalam lumen menghasilkan cukup banyak enzim dan hasil metabolisme untuk menghancurkan enzim glikoprotein pada brushborder2,8).
a. Diare oleh karena Candida (moniliasis)
Penyebab adalah Candida albicans
Gejala klinis
Dapat terjadi bronkitis, infeksi kulit dan sistemis. Gejala tersering ialah diare, oral trush, onikia, paronikia, dermatitis terutama di daerah aksila, di bawah payudara dan pada lipalan intergluteal. Gejala infeksi sistemis jarang, tetapi bila terjadi dapat fatal.
Diagnosis
Ditegakkan dengan menemukan yeast (ragi) dan miselium (pseudohifa)
Pengobatan
1. Nistatin (Mycostatin)
2. Fatty acid-Resin complex, dikemukakan oleh Neuhauser (1954) dengan hasil memuaskan.
3. Amfoterisin B
4. Larutan gentian violet (biasanya untuk pengobatan lokal).
2. Diare oleh karena Vibrio Cholera
Kolera merupakan suatu penyakit akut yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri jenis Vibrio cholerae. Ditandai dengan gejala diare dan kadang-kadang disertai muntah, turgor cepat berkurang, timbul asidosis dan tidak jarang disertai renjatan1,6).
Infeksi terjadi akibat masuknya kuman V. cholerae melalui mulut bersama-sama dengan makanan atau minuman. Hal ini disebabkan adanya kontak langsung benda-benda tersebut dengan tinja yang mengandung kuman kolera1).
Masa inkubasi: 8-48 jam.
Penyakit ini umumnya menyerang penduduk di daerah yang miskin dengan keadaan gizi yang kurang baik di samping faktor sanitasi lingkungan yang buruk.
Patogenesis
1. Tertelannya bakteri V. cholerae dan masuk ke dalam usus halus.
2. Multiplikasi kuman tersebut di dalam usus halus.
3. Bakteri mengeluarkan enterotoksin kolera yang akan mempengaruhi sel mukosa usus halus (menstimulasi enzim adenilsiklase). Enzim tersebut mengubah Adenosine Tri Phosphat (ATP) menjadi cyclic Adenosine Mono Phosphate (cAMP) dan dengan meningkatnya cAMP akan terjadi peningkatan sekresi ion Cl ke dalam lumen usus.
4. Sekresi larutan isotonik oleh mukosa usus halus (hipersekresi) sebagai akibat terbentuknya toksin tersebut.
Fungsi absorbsi lainnya dari mukosa usus halus tidak terganggu karena mukosa tetap utuh (absorbsi glukosa dan asam amino tetap baik). Dijumpai juga penurunan aktifitas enzim disakaridase.
Akibat diare dengan atau tanpa muntah yang disebabkan oleh kolera akan terjadi:
1. Gangguan keseimbangan air (dehidrasi) dan elektrolit.
2. Gangguan gizi (penurunan berat badan dalam waktu singkat).
3. Hipoglikemia (terutama pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi)
Gejala klinis
Semua gejala klinis umumnya merupakan akibat kehilangan cairan tubuh dan elektrolit. Tinja tampak seperti air cucian beras atau tajin, kadang-kadang disertai muntah, turgor yang cepat menurun, mata cekung, ubun-ubun besar cekung, pernafasan cepat dan dalam, sianosis, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, bunyi jantung melemah akhirnya timbul renjatan.
Pemeriksaan laboratorium
Kadar hematokrit dan berat jenis plasma akan meningkat, menurunnya kadar bikarbonat di dalam plasma dan pH darah arteri, sedangkan kadar natrium dan kalium dalam plasma mungkin normal atau menurun.
Sebab kema
tian
1. Renjatan hipovolemik
2. Gagal jantung
3. Gagal ginjal akut karena terjadi tubular nekrosis akut sebagai akibat gangguan sirkulasi darah ke ginjal yang terlalu lama.
Diagnosis
Ditegakkan dengan menemukan kuman Vibrio cholerae dengan cara:
1. Penanaman pada agar empedu atau agar GGT (Gelatin-Telurit-Taurokolat) selama 18 jam. Akan tampak koloni berwarna jernih berkilat yang merupakan koloni Vibrio.
2. Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik.
3. Pemeriksaan mikroskop fluoresen.
Walaupun cara menegakkan diagnosis sebagaimana tersebut di atas tampaknya tidak terlampau sukar, tetapi di daerah endemi atau pandemi sebaiknya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis agar pengobatan dapat segera diberikan. Pengiriman tinja ke laboratorium pusat dapat dilakukan dengan mencampurkan tinja dengan larutan pepton alkali (pH 3,0). Dalam campuran ini Vibrio dapat hidup 6 jam atau lebih.
Pengobatan
Prinsip pengobatan ialah:
1. Memperbaiki dehidrasi dan gangguan elektrolit
2. Memperbaiki asidosis dan renjatan (bila terjadi renjatan)
3. Membunuh kuman dengan antibiotika
4. Pemberian makanan peroral yang adekuat segera setelah rehidrasi tercapai.
Di Bagian IImu Kesehatan Anak FK UI-RSCM Jakarta digunakan sistem ROSE (Ringer laktat-Oralit-Simultan-Edukasi), yaitu dcngan memberikan cairan Ringer laktat melalui intravena dan secara simultan (bersamaan) diberikan oralit (oleh perawat atau orang-tua penderita) dan edukasi terhadap orang tua.
Cairan Ringer laktat diberikan dengan kecepatan:
- 1 jam pertama: 10 tetes/kgbb/menit
- 7 jam berikut: 3 tetes/kgbb/menit
Bila terdapat renjatan, cairan diberikan dengan diguyur, selanjutnya pemberian cairan seperti disebutkan diatas.
- 4 jam kemudian hanya diberikan oralit saja, kemudian boleh pulang.
Diet penderita tidak dibatasi, tetapi sebaiknya mula-mula diberikan makanan lunak yang tidak merangsang. Pada hari ketiga penderita diminta datang kontrol di poliklinik. Antibiotik yang efektif terhadap Vibrio cholerae adalah tetrasiklin dan diberikan dengan dosis 50 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis, selama 5 hari.
Prognosis
Dengan pengobatan yang adekuat, akhir-akhir ini angka kematian dapat diturunkan sampai 0%.
3. Diare oleh karena Escherichia coli
Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif, mempunyai sifat merugikan dan membentuk gas pada glukosa dan laktosa. Toksin yang dibentuk oleh E. coli dapat menyebabkan diare baik pada binatang maupun manusia. Kemampuan melekat (adesi) bakteri pada usus halus merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan virulensi bakteri9).
Selain pembentukan toksin dan daya pelekatan bakteri pada permukaan epitel mukosa usus halus dengan perantaraan plasmid yang merupakan ciri khas E.coli, salah satu strain E.coli ini juga ada yang mampu melakukan invasi (menembus) ke dalam mukosa usus halus anak dan orang dewasa.
Pada saat ini dikenal 3 macam strain E.coli yang dianggap patogen untuk manusia yaitu Enteropathogenic E.coli (EPEC), Enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan Enteroinvasive E.coli (EIEC)1).
Enteropathogenic E. coli (EPEC)
Ditemukan pada tahun 1945 dari penderita kolera anak. Bakteri ini mengeluarkan cairan yang berbau spesifik seperti semen sperma. Pada saat ini lebih dari 15 subtipe yang dikenal dapat menyebabkan diare yang biasanya berupa epidemi terutama pada bayi.
Penggolongan serotipe
Berdasarkan atas sifat antigen somatiknya (antigen 0), antigen kapsul (antigen K) dan antigen flagelnya (antigen H).
Di dalam usus halus bakteri ini membentuk koloni, tetapi tidak memproduksi toksin dan tidak mampu menembus dinding usus. Sekitar 2-3% bayi sehat mengandung EPEC, namun belum diketahui apakah bayi ini benar-benar kebal terhadap EPEC atau bakterinya yang tidak virulen karena tidak memproduksi toksin dan tidak mengandung plasmid atau adanya reaksi silang zat anti terhadap EPEC. Pandangan terakhir menganggap EPEC tetap patogen, meskipun virulensinya kurang.
Plasmid ialah suatu masa DNA yang merupakan kromosom ekstra dari bakteri dan mempunyai sifat kebal terhadap antibiotik, dapat memproduksi toksin dan mempunyai daya pelekatan. Plasmid dapat dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain pada saat terjadi konjugasi.
Terdapat suatu jenis E.coli yang mengandung permukaan antigen yang dikenal dengan nama K88 yang dapat menyebabkan diare hebat karena mengandung Ent+ plasmid. Bakteri jenis ini akan cepat berkembang biak karena adanya gerakan peristaltik usus dan memproduksi toksin yang dapat melekat erat pada sel mukosa usus. Perlekatan ini terjadi karena adanya transmissible plasmid.
Bakteri yang tidak mempunyai transmissible plasmid akan menimbulkan diare yang lebih ringan.
Enterotoxigenic E.coli (ETEC)
Smith dan Gyles (1970) menemukan adanya golongan E.coli patogen pada babi yang mempunyai plasmid yang mudah dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain. Plasmid ini dikenal sebagai Ent+ plasmid yang merupakan tanda dari kemampuan. membentuk berbagai macam enterotoksin. Pada manusia E.coli patogen jenis ini juga mempunyai plasmid atau Stable Toxin (ST) dan toksin yang tidak tahan panas yaitu Labile Toxin (LT).
Ada yang hanya membentuk salah satu dari toksin tersebut dan ada pula yang membentuk keduanya. LT bersifat seperti toksin Vibrio cholerae dapat merangsang enzim adenil siklase sel mukosa usus halus dan mempunyai sifat imunologik (antigenik) yang sama dengan koleragen (antigen Vibrio cholerae). E.coli patogen jenis ini kemudian dikenal dengna nama Enterotoxigenic E.coli (ETEC).
Patogenesis terjadinya diare oleh ETEC sama seperti yang terjadi pada kolera.
Enteroinvasive E.coli (EIEC)
Beberapa jenis E.coli diketahui dapat menyebabkan diare yang disertai darah. Strain ini dapat dibedakan dengan strain EPEC dan ETEC dan disebut Enteroinvasive E.coli (EIEC) karena strain dapat menembus sel mukosa usus besar (kolon), menimbulkan kerusakan jaringan mukosa, sehingga dapat ditemukan eritrosit dan leukosit dalam tinja penderita.
Patogenesis terjadinya diare oleh EIEC ini menyerupai diare yang disebabkan Shigella spp.
4. Diare oleh karena Shigella spp.
Infeksi Shigella pada manusia dapat menyebabkan beberapa keadaan seperti diare ringan tanpa demam, disentri hebat disertai demam, toksis, kejang terutama pada anak, tenesmus dan tinja berlendir dan berdarah12). Golongan Shigella yang sering menyerang manusia ialah S.dysenteri, S. flexnewri, S. boydii dan S. sonnei. Di daerah tropis yang tersering ditemukan ialah S. dysenteri dan S. flexneri, sedangkan S.sonnei lebih sering dijumpai di daerah sub-tropis atau daerah industri.
Patogenesis terjadinya diare oleh Shigella spp. ialah disebabkan kemampuannya mengadakan invasi ke epitel sel mukosa usus, berkembang biak di daerah invasi tersebut serta mengeluarkan eksotoksin yang selain merangsang terjadiya perubahan sistem enzim di dalam sel mukosa usus halus (adenil siklase) juga mempunyai sifat sitotoksik. Daerah yang sering diserang ialah ileum terminalis dan usus besar.
Akibat invasi bakteri ini terjadi infiltrasi sel-sel polimorfonuklier dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut, sehingga terjadilah tukak-tukak kecil di daerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah dan plasma protein ke luar dari sel dan masuk ke lumen usus serta akhirnya ke luar bersama tinja1,12).
5. Diare akibat penyebab lain
Terdapat juga istilah diare fungsional, biasanya pada bayi disebut diare kronis tidak spesifik, pada kasus yang terjadi kemudian pada masa anak, bisa dipakai sebutan Toddler’s diarrhea2,5,9). Pada diare ini, tidak ditemukan adanya penyebab anatomi
s, infeksi radang, atau biokimia sindrom klinis. Diare biasanya mulai secara tersembunyi tanpa kejadian pencetus yang jelas. Anak-anak secara klasik akan bergantian mengeluarkan tinja normal dan cair dan biasanya bergantian antara konstipasi dan diare. Keadaan ini dikaitkan dengan gangguan fungsi motilitas lain pada awal masa anak-anak.
Gangguan atau variasi motilitas usus bisa menyebabkan meningkatnya masa transit makanan melalui usus sehingga melampaui kapasitas normal untuk mencerna dan mengabsorbsi larutan dalam lumen atau menyebabkan transit usus menjadi lambat sehingga menyebabkan stasis dan bakteri tumbuh berlebihan. Kenaikan aktivitas motorik usus bisa menyebabakan aktivitas pemacu gelombang lambat yang tidak normal (sindrom usus iritabel), gambaran abnormal aktivitas potensial menonjol (hipertiroidisme, skleroderma, pseudo obstruksi), dan distensi usus yang hebat2).
Selain itu, bahan-bahan farmakologi dapat memacu diare dengan bermacam-macam mekanisme, antara lain :
1. Adanya beban osmotik intraluminal yang berlebihan (laksansia osmotik, seperti laktulosa, garam magnesium, antasida yang mengadung magnesium).
2. Efek langsung toksin yang menyebabkan perubahan morfologis pada usus halus.
3. Gangguan motilitas usus (senna, kuinidin). Semua obat antibiotik biasanya dapat terkait dengan diare.
Prinsip penatalaksanaan diare kronis
Penatalaksanaan diare kronis harus dikerjakan bersama-sama dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memenuhi atau memelihara pertumbuhan normal. Malnutrisi kalori dan protein harus dihindari sebisa mungkin karena hal tersebut dapat menjadi variable pengganggu yang memperlambat atau menghambat pengembalian ke fungsi usus normal. Oleh karenanya orang tua memerlukan nasehat khusus mengenai lamanya penghentian makanan. Banyak orang tua terlalu keras membatasi makanan sehingga terjadi kekurangan kalori karena mereka beranggapan bahwa pemberian makanan akan memperberat diare2,13).
Apabila diberikan cairan pada pengelolaan diare, hati-hatilah dalam menentukan komposisi dan jumlahnya. Pada bayi kurang dari 2 tahun, kapasitas absorbsi mungkin sudah terlampaui oleh pemasukan yang lebih dari 200 mL/kg/24 jam.
Walaupun pengobatan spesifik intoleransi laktosa paling baik dimulai dengan diet ketat bebas laktosa, penyembuhan diare jelas mempertegas dasar hubungan untuk menilai derajat intoleransi laktosa. Pengobatan jangka panjang intoleransi laktosa harus mencakup pula pengenalan kembali makanan yang mengandung laktosa, tetapi beberapa makanan yang mengandung laktosa ditoleransi lebih baik daripada yang lain. Makanan tinggi lemak, yang memperlambat pengosongan lambung dan demikian pula memperlambat pula pengangkutan laktosa ke dalam usus halus, mungkin bisa ditoleransi oleh beberapa penderita intoleransi laktosa.
Pengobatan yang cepat penderita yang dicurigai mengalami pertumbuhan bakteri berlebihan di dalam usus halusnya hareus mengikuti pertimbangan cara bedah, medis, dan dukungan nutrisi. Pengobatan anti biotik biasa dimulai dengan anti biotik berspektrum luas (metronidazol, tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin) biasanya diberikan pemberian selama 2 minggu. Perbaikan diarenya harus diamati selama 1 minggu asalkan pembatasan diet lemak dan laktosa menjadi bagian dari skema pengelolaan sejak awal.
Kesimpulan
1. Diare kronis adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dengan konsistensi tinja lebih lembek atau cair dan berlangsung dalam waktu lebih dari 2 minggu.
2. Penyebab diare kronis sangat banyak, yaitu malbsorbsi dan infeksi khusus pada saluran pencernaan, pengaruh obat-obatan, dan beberapa keadaan yang menyebabkan kenaikan aktivitas motorik usus. Namun penyebab tersering pada bayi dan anak adalah malabsorpsi dan proses infeksi.
3. Penatalaksanaan diare kronis pada prinsipnya harus dikerjakan bersama-sama dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memenuhi atau memelihara pertumbuhan normal. Malnutrisi kalori dan protein harus dihindari sebisa mungkin karena hal tersebut dapat menjadi variable pengganggu yang memperlambat atau menghambat pengembalian ke fungsi usus normal.
4. Pembatasan makanan pada bayi dan anak dengan diare kronis merupakan anggapan yang salah dan akan mengakibatkan kekurangan kalori dan protein.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 1, Bagian Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Volume 2, edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
3. William W. Hay, 2001, Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Edisi ke-15, McGraw-Hill Companies, United States of America.
4. Unit Penyakit Anak RSUP DR. Sarjito, 1991, Pedoman Tatalaksana Medik Anak DR Sarjito , Jogjakarta.
5. http://healthlink.mcw.edu/article/935164966.html
6. http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/diarrhea.
7. http://www.fpnotebook.com/G116.htm
8. http://www.naspghan.org/sub/acute_and_chronic_diarrhea.htm
9. http://www.aboutibs.org/publications/chronic diarrhea.html
10. http://www.umm.edv/pediatric-info/diarrhea
11. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m3225/is_n2_v531ai_18028319
12. http://ecurens.com/emyhealth/data/chronic_diarrhea.asp
13. http://ede.gov/ncidod/dpd/parasites/diarrhea/factsht_chronic_diarrhea_htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment