Thursday, December 31, 2009

Obat Asing Dominasi Pengobatan HIV

Indonesia sejak tahun 2003 sudah bisa memproduksi obat Antiretroviral (ARV) untuk penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan obat ARV lokal masih minim kalah dengan dominasi obat asing.

Obat ARV ini berfungsi bukanlah obat yang benar-benar menyembuhkan HIV/AIDS karena fungsinya menghambat dan menekan peredaran virus dalam darah. Hingga kini belum ditemukan obat dan vaksin yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS. Tapi AIDS bukan penyakit kronik yang tidak dapat dikontrol.

Tingginya ketergantungan obat asing itu membuat pakar kesehatan Indonesia sepakat untuk lebih mandiri di 2010 dalam penyediaan obat HIV.

Dalam acara seminar renungan akhir tahun 'Membangun Kemandirian untuk Meningkatkan Upaya Penanggulangan AIDS di Indonesia', Prof. Dr dr Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI dari Pokdisus (Kelompok studi khusus) AIDS FKUI-RSCM mengatakan bahwa 70 persen dana penanggulangan HIV-AIDS berasal dari bantuan luar negeri.

"Kalau kita terus-terusan dibantu orang asing, industri dalam negeri bisa mati dan publik jadi tidak akan ingat produk negerinya sendiri," kata Samsuridjal.

Hingga saat ini obat ARV yang diproduksi industri farmasi dalam negeri seperti PT Kimia Farma Tbk masih sedikit digunakan oleh penderita HIV/AIDS atau ODHA.

"Jumlah orang yang menggunakan masih relatif sedikit dibandingkan dengan yang seharusnya padahal obat ARV sudah ada sejak 2003. Bukan karena jumlahnya yang kurang, tapi karena pendistribusian obat yang masih kurang maksima," katanya.

Prof. Samsuridjal menceritakan pengalamannya dalam sebuah kesempatan. Ketika itu ada mitra asing yang mengatakan Indonesia jangan sekali-kali pakai ARV karena dianggap belum punya infrastuktur dan SDM yang baik.

"Tapi jika kita tidak bergerak maka akan banyak orang HIV yang bisa mati. Kita punya dokter, ilmuwan dan orang-orang berpendidikan tinggi yang tidak kalah bagus dari negara lain, kenapa tidak diberdayakan?" ujarnya.

Subsidi obat ARV oleh pemerintah dimulai sejak tahun 2004. "Indonesia adalah negara ke-2 yang bisa memproduksi ARV sendiri setelah Thailand, harusnya kita bangga," kata Samsuridjal.

Namun hingga saat ini distribusi obat ARV masih menjadi masalah terutama karena kebijakan pemerintah yang terlalu ketat dan rasional.

"Politik kesehatan terkadang menghukum negara sendiri dengan beban pajak yang tinggi padahal mulai 1 Januari besok China sudah menandatangani perjanjian free trade dengan Indonesia," kata Kurniawan Rahmadi,MSi yang juga anggota Pokdisus AIDS.

Namun menjadi bangsa mandiri bukan berarti menutup pintu bantuan. Bantuan tetap dibutuhkan tapi bantuan yang memperkuat potensi nasional.

http://dede-health.blogspot.com

No comments:

Post a Comment